Lg bengong dirumah..jadi deh sesuatu ini..mau bilang karya kok kemelipen....
Jumat, 20 Agustus 2010
Kamis, 19 Agustus 2010
Anakku Guruku
Sudah dua bulan sejak aku meninggalkan tanah kelahiranku merantau ke ujung pulau Indonesia. Berat? Tentu saja. Aku harus meninggalkan desa tempat aku dilahirkan, dibesarkan dan menikmatikmati hidupku selama 32tahun. Apalagi aku berjodoh dengan suamiku yang rumahnya tidak jauh dari tempat tinggalku dan kami membangun rumah didekat tempat tinggalku juga. Memang aku pernah merantau tapi untuk sekolah dan aku memutuskan kembali ke kampung halamanku.
Di kampungku itu aku mencoba merintis usaha kecil-kecilan sekaligus membentuk komunitas yang kaunggap teman, sahabat,keluarga tempat aku menumpahkan segala perasaan dan hidupku. Kuabdikan diriku agar aku berguna untuk sesama, untuk orang lain. Bukan dalam artian finansial atau materi tapi setidaknya aku menyediakan hati untuk mereka.dan akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan semuanya, mengikuti kepindahan kerja suamiku.
Sebelum aku memutuskan hal yang kurasa berat, aku meminta pertimbangan keluarga, teman sahabat komunitasku dan semuanya memberi saran yang diplomatis. Tentu saja dengan berbagai versi dan obyektivitas yang relatif. Dan yang membuat keputusanku mantap adalah suara kecil buah hatiku ketika suatu malam aku menanyakan perihal itu padanya, dia menjawab polos,
“Aku tinggal dimana aja, asal ada Papa.”
Aku tertegun dengan pernyataan bocah 5 tahun itu. Lantas aku berfikir apakah dia tidak mempertimbangkan bahwa dia harus meninggalkan teman-teman kecilnya yang setiap hari menemani dia bermain, meninggalkan nenek tersayangnya meninggalkan sekolah yang sangat disenanginya. Tetapi kecintaan dan rasa sayang pada papanya hanya itu yang ada dalam benaknya, karena pernah suatu hari dia menyeletuk “Kasihan papa disana sendirian ya Ma.”
Dan ketika menempati rumah baru, tidak ada sama sekali kerewelan yang ditinjukkannya. Dia langsung tidur dengan pulas begitu pada malam-malam berikutnya. Dia juga bermain sendiri ketika belum kenal dengan teman-teman sekitarnya. Dan ketika memasuki sekolah barunya dia berangkat dengan semangat, mulai bergabung dengan teman-teman sekolahnya dan tidak terkendala oleh bahasa (sehari-hari kmi berbahasa jawa-di tempat baru bahasa sehari-harinya bahasa indonesia). Di tempat ngajinya yang baru dia mengenal teman-teman baru, tidak ada masalah. Dan yang paling dia sukai ketika diajak jalan-jalan ke mall dan bermain mandi bola, dia sangat menikmatinya.
Melihat semua itu, layakkah aku punya perasaan tidak nyaman di tempat baru ini. Kuakui di tempat yang sama sekali asing bagiku aku merasa aneh, tidak punya teman dan tentu saja aku tidak membayangkan hidup dikota. Sangat berbeda dengan di desa. Dengan status ekonomi sosial yang tinggi, jiwa individualinyapun juga tinggi. Sepertinya aku merasa orang kota sangat sibuk sehingga tidak sempat berinteraksi dengan sesama di komplek perumahan. Bahkan tetangga sebelahkupun aku tidak kenal. Aku yang biasa berkeliling menjajakan dagangan bertemu banyak orang harus diam dirumah hanya ngobrol dengan anakku dan dengan suamiku kalau malam tiba. Apalagi dengan biaya hidup yang tinggi dibandingkan dengan desa yang apa-apa disediakan oleh alam. Rasanya saat itu aku ingin protes.
Tapi demi melihat anakku, aku sangat malu. Rasanya aku tak ada apa-apanya dibanding dia. Dengan segala keceriaan dan kenikmatan yang selalu ditunjukkan padaku tiap hari, aku memang harus lebih instropeksi diri. Haruskah aku protes dengan keadaan baru kami. Kenapa aku tidak belajar dari anakku, melihat semua dari sisi positif. Selama aku bisa berkumul dengan keluarga kecilku sudah seharusnya aku bahagia. Toh apapun yang kami jalani, kami hadapi bersama. Anakku sudah memberi contoh padaku dengan segala tindakan yang dilakukannya. Dengan keceriaan yang ditunjukkanya setiap menit padaku. Anakku memang menjdi guru bagiku dalam kehidupanku.
Langganan:
Komentar (Atom)