Ini tentang putri termanisku..
TUHAN DIATAS SEGALANYA
Pagi ini merupakan pagi yang
tidak biasa buat Elva, putri termanisku. Betapa tidak, semalam dia berpesan
agar aku membangunkannya pagi pagi, pagi sekali malah. Dia kubangunkan sebelum
subuh. Tanpa rasa malas, dia langsung menenggak susu yang kubuatkan dan
menunggu air hangat untuk mandinya mendidih. Setelah itu pas setelah adzan
subuh dia kuantar ke sekolahnya. Karena pagi ini dia harus dirias dan didandani
untuk persiapan lomba paduan suara.
Tidak biasakah? Tentu saja, bagi
anak anak yang sekolah di pedesaan even even semacam ini memang tidak kerap
diikuti. Paling kalau ada porseni seperti saat ini atau pagelaran tujuh belasan
tingkat dusun. Kuhitung hampir dua bulan dia dan timnya mempersiapkan diri
dengan berlatih keras dan sungguh sungguh. Aku bisa bilang demikian karena
setiap waktu di rumah dia tak henti hentinya menyanyikan lagu Tamasya dan
Anoman Obong yang akan dinyanyikannya di perlombaan nanti.Malah kadang adiknya
berteriak kegirangan menyaksikan kakaknya show dihadapannya.
Sebagai orangtua yang memberi
dukungan penuh atas apa yang dijalani sang buah hati, kubantu dia mempersiapkan
segalanya. Dari menjaga asupan makanan yang dikonsumsinya agar dia tetap sehat
dan suaranya tidak terganggu, sampai merehab baju yang akan dipakainya, karena
baju sewaan tentu saja tidak langsung sesuai dengan tubuh mungilnya. Tidak lupa
mengeluarkan biaya sewa baju dan membeli sepatu untuk melengkapi penampilannya
nanti. Dan setelah mempersiapkan ini itu, kamipun sampai di tempat perlombaan
dengan suasana riuh dan gembira karena memang sebagian besar yang ada disitu
adalah anak anak.
Sesuai informasi yang kudapat,
lomba ini adalah seleksi grup untuk dikirim ke tingkat provinsi Jawa Timur.
Jadi hari ini para peserta berlomba antar kecamatan sekabupaten mojokerto.
Untuk kecamatan Gedeg tempatku berdomisili langsung ditunjuk SD anakku yang
mewakili. Dan satu Kabupaten ada sekitar 14 grup peserta.
Rasa gugup justru kualami
meskipun yang berlomba bukan aku sendiri. Aku kuatir anakku melakukan
kesalahan. Padahal papanya berpesan biarkan anak kita menjalaninya tanpa kita
bebani perasaan apapun, kita doakan saja yang terbaik. Anakku mendapatkan nomor
undian 12, jadi aku masih bisa membandingkan dengan peserta sebelumnya. Tiba
anakku giliran tampil, aku sangat terharu dan bahagia karena dia dan teman
temannya mampu mempersembahkan pertunjukan yang menghibur dan terbaik,
menurutku. Apalagi ibu ibu teman Elva dan guru gurunya sangat optimis bisa
mendapatkan juara 1. Karena dari segi kostum, tekhnik suara dan koreografinya
sangat bagus, menurutku. Malah kita berangan angan akan berangkat ke tingkat
provinsi. Dan juga melihat kemampuan tim putriku dibandingkan tim yang lain,
menurutku di atas kertas mereka akan menang.
Tapi aku, ibu ibu lain dan guru
guru anakku bukanlah jurinya. Ada yang lebih paham dan berwenang memutuskan.
Saat ada juri yang menyampaikan bahwa ada grup yang berpotensi menang tapi lagu
piilihannya bukan lagu daerah, aku mulai ragu. Benakku bertanya apakah yang
dimaksud juri adalah tim putriku. Dan benarlah, ketika juara disebutkan satu
persatu, ternyata tim Elva meraih juara
tiga. Bukan juara satu yang kuagankan. Tetap juara memang, tapi ini bukan
kompetisi terbuka yang berhadiah uang atau semacamnya. Tapi ini adalah seleksi
untuk tingkat berikutnya yang artinya juara selain satu tidak mendapatkan
kesempatan lagi. Kecewa, jelas. Sedih itu pasti. Tapi larut dalam kekecewaan
dan kesedihan tidaklah bijaksana. Kulihat anakku, sedikit kekecewaan terlintas
di matanya. Tapi senyumnya yang terus mengembang dan kulihat kegembiraan
sepanjang perlombaan ini menyadarkanku akan banyak hal.
Aku lupa, bahwa hati dan perasaan
buah hatiku jauh lebih penting daripada sekedar keinginan untuk menjadi juara
satu. Saat mendengar timnya disebut sebagai juara tiga, dia dan teman temannya
melompat lompat kegirangan karena mereka merasa tetap terpilih menjadi salah
satu yang terbaik diantara 14 peserta lainnya. Saat itulah harusnya perasaanku
menjadi tidak penting, karena perasaan yang berbanding terbalik dengan
kegembiraan putriku justru semakin mengecilkan diriku dan semakin menyadarkanku
bahwa sebuah ambisi justru bisa menodai hati. Rasa terpilih menjadi yang
terbaik adalah sama terbaiknya dengan menghargai setiap inci usaha yang telah
dibangun dan dilakukan apapun hasil akhirnya.
Aku lupa, bahwa sesuatu yang
berlebihan adalah tidak baik. Seperti yang telah kurasakan dan kuharapkan saat
itu. Kepercayaan diri yang berlebihan akan membawa pada kekecewaan dan
penyesalan. Optimis memang sebuah keharusan dalam menanti sebuah hasil usaha,
tetapi merasa sudah tahu hasil dari usaha itu sendiri jatuhnya adalah pada
kesombongan. Takabur akan pengharapan yang belum tentu terwujud. Hal itulah
yang seharusnya kusadari dari awal, sehingga lebih bisa memupuk rasa optimis
dibarengi dengan doa.
Dan kata yang kusebut terakhir
itulah yang paling penting. Mungkin aku merasa sudah melakukannya. Jauh jauh
hari malah. Tapi aku lupa bahwa doa adalah sebuah bentuk kepasrahan dan rasa tawakal
yang dalam kepada yang punya hidup dan
sang maha hidup. Ketika hati memiliki keinginan dan pengharapan yang
kita sampaikan padaNya, sudahkah langkah yang kujalankan sebanding dan
berimbang dengan hati itu sendiri. Karena terkadang aku baru menyadari ternyata
jauh hari kupanjatkan doa seolah berserah akan segala keputusan Tuhan, tetapi
disaat yang sama tindakan atau perbuatan yang kulakukan bertentangan dengan
keinginan Tuhan. Tuhan pasti ngin perbuatan baik, yang menghargai, menghormati,
rendah hati, optimis tanpa rasa sombong. Dan tenyata kulakukan sebaliknya. Seolah
olah keputusan itu sudah dibuat dan terjadi. Maka semakin kusadari bahwa kehadiranNya
harus selalu ada dalam setiap hati, dalam setiap langkah dan harus selalu ingat
bahwa hanya Tuhan yang ada diatas segala
galanya. Selalu ingat bahwa kealpaan terhadap kehadiranNya adalah sebuah
kesalahan yang tidak boleh terulang.